Monday, March 12, 2007

PENGARUH TAYANGAN PADA PENGGAMBARAN KEKERASAN DI TELEVISI

PENDAHULUAN

Menonton televisi bukanlah hal yang jelek bagi anak-anak. Asalkan pandai memilih acara yang sesuai dengan usia dan kebutuhannya, serta terampil dalam mencerna apa yang ditangkap dari sajian di layar kaca, televisi sebenarnya bisa menyumbang berbagai hal yang positif untuk pertumbuhan anak.
Kita semua tahu bahwa masa kanak-kanak merupakan periode khusus yang menentukan tahap perkembangan selanjutnya. Segala sesuatu yang diketahui, diperoleh, dan dialami pada masa tersebut ikut mempengaruhi perkembangan diri si anak. Dalam masa pertumbuhannya itu, anak-anak mengkonsumsi apa-apa yang tersedia di sekitar mereka. Usia dan pengalaman hidup yang masih sedikit, membuat sebagian besar hal yang ditemui di sekitar mereka, diluar lingkungan rumah dan keluarga terdekat umumnya dipandang sebagai barang baru. Kebaruan itu saja sudah membuat hal-hal yang dimaksud menjadi menarik. Apalgi jika yang ditemukan itu memiliki keistimewaan seperti orang bisa terbang, kucing (hewan) bisa berbicara, dan sebagainya. Ketertarikan tadi bahkan bisa meningkat menjadi keyakinan dan kesetiaan terhadap hal yang disukainya.
Dalam dunia televisi gambar mempunyai arti dan pengaruh lebih besar dibandingkan dengan kata-kata atau narasi, bahkan gambar tidak memerlukan kata-kata karena gambar dapat bercerita sendiri apa yang sedang terjadi. Kekuatan gambar ditelevisi mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam kehidupan manusia, kelompok juga terhadap anak-anak. Televisi sering dipersalahkan sebagai penyebab tindak kekerasan, asusila, dan kriminal.
Memang televisi mempunyai pengaruh yang ampuh. Nitibaskara menyebutkan televisi berpotensi mempengaruhi 75 % pemirsanya. (Psyche, 1994). Saat ini televisi mulai banyak menyajikan acara yang menampilkan kekerasan. Penelitian mengenai aksi kekerasan yang muncul di televisi pernah dilakukan oleh surat kabar Kompas pada bulan Sepetember 1993. Dalam satu hari, empat stasiun televisi yaitu TVRI, RCTI, TPI dan SCTV menayangkan adegan kekerasan sebanyak 127 kali dari sebelas film yang disajikan (Budyatna, 1994)

Hal ini juga terbukti temuan dari hasil penelitian yang dilakukan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI) mengenai program televisi menunjukkan persentase acara televisi yang secara khusus ditujukan bagi anak-anak relatif kecil, sekitar 2,7 - 4,5 % dari total tayangan yang ada. Umumnya persentase tayangan yang sedikit ini pun materinya sangat mengkhawatirkan bagi perkembangan anak-anak, karena lebih banyak berisi adegan antisosial daripada adegan prososial, mengandung nilai-nilai yang kurang mendidik dan bisa melunturkan nilai-nilai ideal seorang anak.
Namun pengaruh televisi tidaklah selalu bersifat langsung (direct effect) tetapi berpola kumulatif, dimana memori anak usia 3,5 – 4 tahun mulai merekam berbagai kejadian disekitar hidupnya. Hal-hal yang penting, berkesan, dan terjadi berulang-ulang akan direkam secara relatif menetap dalam ingatan. Dan hal yang lain akan terlupakan begitu saja.
Dalam Undang-Undang Penyiaran No. 32 Tahun 2002 tentang isi siaran, pada pasal 36 ayat 3 menyatakan: Isi siaran wajib memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada khalayak khusus, yaitu anak-anak dan remaja, dengan menyiarkan mata acara pada waktu yang tepat, dan lembaga penyiaran wajib mencantumkan dan/atau menyebutkan klasifikasi khalayak sesuai dengan isi siaran. Sedangkan Ayat 5: Isi siaran dilarang: Pertama, bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan dan/atau bohong. Kedua, Menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang; atau Ketiga, Mempertentangkan suku, agama, ras, dan antar golongan.
Pada pasal 48 tentang Pedoman Prilaku Penyiaran ayat 4 point D, juga menyebutkan adanya pembatasan adegan seks, kekerasan dan sadisme.
Kekhawatiran akan dampak negatif siaran televisi muncul karena banyak acara yang ditayangkan belum pantas ditonton anak-anak. Sementara jam siaran berlangsung pada saat anak-anak masih aktif, sehingga pada saat kontrol orang tua tidak ada, anak bisa menyaksikan acara yang kurang baik.
Nyatanya televisi merupakan salah satu “model” yang menarik untuk ditiru. Aksi-aksi kekerasan yang ditampilkan televisi akan dicontoh anak-anak dalam kehidupan mereka sehari-hari. Penonton televisi yang sebagian besar terdiri dari anak-anak nantinya akan terbiasa dengan tindakan-tindakan keras seperti memukul, menendang, memaki dan sebagainya. Sebagaimana adegan yang ditontonnya di layar televisi.
Besarnya pengaruh televisi terhadap perilaku penonton dan besarnya kemungkinan potensi film-film yang ditayangkan televisi sebagai “model” yang menarik untuk ditiru, memberikan indikasi kepada kita agar berhati-hati dan bijaksana dalam menentukan jenis-jenis tayangan yang sesuai dengan konsumsi anak-anak seusianya.
Kenyataannya sampai saat ini, stasiun televisi masih banyak menayangkan program yang berisi film-film kekerasan, adegan seks dan sadisme. Masalahnya sekarang bagaimanakah pengaruh tayangan pada penggambaran kekerasan di televisi terhadap sikap dan perilaku agresif anak-anak.

KERANGKA TEORI

1. TELEVISI
Menurut Roger Maxwell (2001: 20) televisi adalah sebagai suatu cabang dari penyiaran radio, dan sebagaimana siaran radio, ia tergantung pada penyimpanan tanda-tanda dalam bentuk gelombang elektromagnetik secara cepat.
Kemudian Ashadi Siregar (2001: 1) mengemukakan bahwa media televisi memiliki posisi istimewa dalam masyarakat, yaitu dilihat dari karakteristiknya yang memberikan kemudahan maksimal kepada khalayaknya, karena untuk memperolehnya masyarakat tidak perlu keluar rumah, bersifat gratis, tidak memerlukan kemampuan membaca yang tinggi dan mencapai khalayak yang heterogen sekaligus, karenanya tidak heran televisi menyita waktu yang lebih banyak dan perhatian dari lebih banyak orang dibandingkan dengan media lain.
Ternyata menurut Zulkarimen Nasution (1997: 203-206) pada hakikatnya televisi merampas waktu anak-anak, padahal tidak semua sajian televisi baik ditonton, anak-anak terlalu cepat dikenai budaya orang dewasa. Lebih jauh lagi model-model masyarakat, peran, dan jabatan pria dan wanita yang digambarkan dalam televisi, yamg dipelajari anak-anak, sesungguhnya merupakan penyederhanaan (simplified model) yang disesuaikan dengan kebutuhan.

2. TAYANGAN KEKERASAN
Banyaknya tayangan kekerasan di televisi seperti sinetron, Film kartun (Cartoon Network) film-film impor, secara sadar atau tidak sadar dapat berdampak kepada masyarakat yang dikhawatirkan ditiru penontonnya.
Menurut Kadish (1983) kekerasan menunjuk pada semua tingkah laku yang bertentangan dengan undang-undang, baik berupa ancaman saja maupun sudah merupakan tindakan nyata yang mengakibatkan kerusakan terhadap harta benda, fisik atau mengakibatkan kematian seseorang. Ruang lingkup terbatas pada suatu komunitas lokal, misalnya pengeroyokan dalam bentuk pemukulan atau penganiayaan terhadap pencopet yang tertangkap tangan.
Dede Mulkan Sasmita, (1997: 214) menjelaskan bahwa para pakar komunikasi mempunyai asumsi yang cukup kuat mengenai dampak tayangan kekerasan ditelevisi terhadap perubahan pola perilaku penontonnya, terutama anak-anak. Salah satu kondisi yang mungkin timbul menurut para ahli komunikasi itu adalah munculnya perasaan takut akan menjadi korban kekerasan pada sebagian penonton yang sering menyaksikan tayangan kekerasan di televisi. Asumsi itu mengacu pada teori yang menyatakan bahwa tayangan televisi merupakan cermin realitas sosial yang terjadi di masyarakat.
Besarnya rasa ingin tahu karena yang sudah diketahui masih sedikit pada diri anak membuat segala isi informasi yang serasi dengan keinginan-keinginan akan dilahap begitu saja bulat-bulat tanpa banyak pikir. Itulah sebabnya semaksimal mungkin perlu diikuti atau diketahui apa saja yang sebenarnya dikonsumsi oleh anak-anak. Kalau berbentuk acara televisi, tema cerita apa saja, yang dibintangi oleh siapa, serta moral cerita macam apakah yang menjadi kesenangan mereka? Pendeknya perlu dipahami secara rinci menu informasi mereka agar kita tahu persis apa yang mengisi benak mereka, sehingga tidak terperanjat begitu sadar bahwa mereka mengetahui sesuatu yang di luar dugaan.
Tayangan kekerasan yang digambarkan televisi sekarang ini seperti sinetron remaja, anak-anak bahkan film-film impor, yang seharusnya dikonsumsi orang dewasa banyak ditonton anak-anak. Adapun film yang dikategorikan mengandung unsur kekerasan, Gerbner (1972) mengemukakan sebagai the overt expression of physical force (with or without weapon) against self of other. Compelling action against one’s will on pain of being hurt or killed or action actualily hurting or killing. Artinya semua film yang menampilkan kekerasan fisik dengan atau tanpa senjata yang ditujukan kepada dirinya atau orang lain di mana tindakannya mengakibatkan kesakitan, atau kematian, merupakan film yang dikategorikan mengandung unsur kekerasan.
Banyaknya film-film di televisi yang mengandung unsur kekerasan yang dipilih para pengelola televisi untuk mengisi program siarannya, karena jenis film itu memang disukai penonton. Terbukti adanya rating yang tinggi dari jenis film yang ini mencapai angka di atas 20. Rating tinggi berarti pemasukan keuangan dari iklan pun akan membanjir. (Yatim, 1994).
Penelitian LIPI yang dilakukan tahun 1994 terhadap 200 remaja Sekolah Lanjutan Tingkat Atas dan Mahasiswa di Medan, Surabaya menunjukkan acara yang paling digemari pemirsa adalah jenis film aksi (58%), drama (17,5%), Komedi (10%) serta Koboi dan Detektif (14,5%) (Republika, April 1995).
Pendapat senada dikemukakan Jeremo dan Singer, Psikolog dari Universitas Yale, menurut mereka, televisi memang secara tidak langsung menimbulkan perilaku kekerasan. Tetapi mereka mengakui, program televisi dapat memperkuat faktor agresif dalam kepribadian si anak, ataupun gejala agresivitas masyarakat yang memang sudah ada (Kompas, Desember 1994).
Para pengamat di Amerika menduga acara televisi yang menampilkan film kekerasan dapat mendorong agresivitas seseorang. Tudingan ini dikemukakan karena tindak kekerasan merupakan masalah utama sejak televisi menjadi medium hiburan di setiap rumah. Kekhawatiran dampak negatif terutama ditujukan kepada anak-anak. Setiap hari mereka dihadapkan pada berbagai macam acara. Hingga usia 18 tahun, rata-rata anak Amerika menghabiskan 20.000 jam untuk menonton televisi. Dengan perkataan lain, jumlah waktu yang digunakan untuk menonton televisi lebih banyak dibanding jumlah waktu yang tersedia untuk melakukan aktivitas dikelas. (Sears, 1991)

3. SIKAP DAN PERILAKU AGRESIF
Sikap hanyalah sejenis motif sosiogenis (keinginan memperoleh pengalaman baru, keinginan akan rasa aman) yang diperoleh melalui proses belajar (Sherif dan Sherif, 1956: 489). Kecenderungan bertindak, berpersepsi, berpikir, dan merasa dalam menghadapi objek, ide, situasi atau nilai. Berati sikap adalah kecenderungan untuk berperilaku dengan cara-cara tertentu terhadap objek (benda, orang, tempat, gagasan atau situasi, atau kelompok). Dengan demikian sikap timbul dari pengalaman yang merupakan hasil belajar.
Menurut Watson (Agus Sujanto, 1979: 134) tingkah laku manusia tidak lain adalah refleks yang tersusun. Semua perbuatan adalah susunan refleks-refleks belaka. Setiap tingkah laku manusia adalah reaksi terhadap perangsang-perangsang. Perbuatan yang tersederhana, adalah terdiri dari perangsang beserta reaksinya, dan yang berlangsung secara otomatis, refleksif. Berarti behaviorisme memandang manusia sebagai suatu organisme yang mereaksi secara keseluruhan terhadap dari luar.
Behavior atau perilaku adalah seluruh perilaku manusia sebagai hasil belajar. Artinya perubahan perilaku organisme sebagai pengaruh dari lingkungan. Atau perilakunya dikendalikan oleh faktor-faktor lingkungan (lingkungan psikologisnya).
Edward Ross (Jalaluddin Rakhmat, 1991: 33) menegaskan faktor situasional dan sosial merupakan faktor utama dalam membentuk perilaku individu. Besarnya pengaruh situasi dalam menentukan perilaku manusia dapat memberikan reaksi yang berbeda-beda terhadap situasi yang dihadapinya sesuai dengan karakteristik individu yang dimilikinya.
Adalah sikap yaitu hanyalah sejenis motif sosiogenis (keinginan memperoleh pengalaman baru, keinginan akan rasa aman) yang diperoleh melalui proses belajar (Sherif dan Sherif, 1956: 489). Kecenderungan bertindak, berpersepsi, berpikir, dan merasa dalam menghadapi objek, ide, situasi atau nilai. Berarti sikap adalah kecenderungan untuk berperilaku dengan cara-cara tertentu terhadap objek (benda, orang, tempat, gagasan atau situasi, atau kelompok). Dengan demikian sikap timbul dari pengalaman yang merupakan hasil belajar.
Ada tiga ciri penting dari sikap yaitu dipelajari, relatif bertahan lama, dan mempengaruhi perilaku. (Terence A. Shimp, 2003: 535)
Menurut Ria Hilmiati Drajat, Sikap atau Attitude adalah sebagai sikap dan kesediaan bereaksi terhadap suatu hal dan terarahkan hanya pada suatu objek. Sedangkan W.A. Gerungan menterjemahkan attitude sebagai sikap terhadap objek tertentu dapat merupakan sikap pandangan, atau sikap perasaan yang disertai oleh kecenderungan untuk bertindak. Dengan kata lain Attidute sebagai sikap dan kesediaan beraksi terhadap suatu hal atau suatu objek yang mengandung pula suatu penilaian positif atau negatif terhadap obyek tertentu.
Scramm (Children and Television, Ray Brown, 1997: 117) menyarankan bahwa proses kematangan dengan pengalaman dan prustrasi yang menyulitkannya, membawa anak-anak melepaskan diri dari kebosanan. Lebih jelasnya orientasi fantasi atau pendekatan khayalan terhadap media seorang anak karena ia menyukai programnya.
Sedangkan kaitannya dengan perilaku agresif. McDougall (Jalaluddin Rakhmat, 1991: 33) menekankan pentingnya faktor-faktor personal (faktor yang timbul dalam diri individu) dalam menentukan interaksi sosial dan masyarakat (dalam puluhan instink) yang menentukan perilaku manusia. Artinya perilaku agresif adalah salah satu contoh perilaku tertentu yang merupakan bawaan manusia (instink/naluri) dari pengaruh biologis.
Berarti sikap dapat timbul pada diri individu dari pengalaman dan proses belajar dari pengaruh lingkungan dan situasi. Sedangkan agresif adalah perilaku individu yang timbul dalam dirinya. Namun pada kenyataannya sikap dan agresif adalah perilaku yang sama yang timbul dalam diri individu sebagai akibat dari pengaruh situasi.
Kemudian dari berbagai teori Psikologi Sosial mengatakan, kekerasan di televisi dapat meningkatkan agresi penontonnya. Secara lebih jelas teori imitasi yang dikemukakan Bandura (Berkowitz, 1995) membuktikan hal itu. Kekerasan di televisi akan menyebabkan penonton melakukan agresi imitatif atau kekerasan dapat menjadi isyarat yang memicu timbulnya kebiasaan respon agresif bagi penontonnya.Dimana suatu tindakan dianggap agresif jika tindakan tersebut dilakukan sebagai bagian dari peran yang secara umum diterima. Misalnya seseorang yang memegang pisau untuk merampok jelas melanggar aturan sosial. Memegang pisau kita anggap sebagai tindakan agresif. Sementara ahli bedah yang memegang pisau untuk menyayat pasiennya tidak dianggap tindakan agresif karena bagian dari pekerjaan yang diterima umum. Artinya kategori suatu tindakan agresif atau tidak tergantung pada niatnya. Jika niatnya untuk menyakiti individu lain, maka tindakan itu dianggap agresif, Jika tindakan dilakukan dengan tujuan menolong orang lain, maka tindakan tersebut dianggap tidak agresif.
Hal yang sama juga dikemukakan Lickona (1976) bahwa tingkah laku baru akan disebut agresif bila orang yang dikenali perlakuan tersebut sebenarnya tidak mau menerima perlakuan yang menyakitkan itu. Tindakan demikian di dalam masyarakat dapat digolongkan sebagai tingkah laku antisosial. Sedangkan tingkah laku yang bermanfaat disebut tingkah laku prososial. Tindakan seorang pejalan kaki yang menolong korban tabrak lari secara sukarela dapat dikategorikan tindakan prososial. Tindakan dokter yang harus mengoperasi pasien untuk menyelamatkan nyawanya juga termasuk tindakan prososial.
Bentuk-bentuk agresif yang dilakukan tidak terbatas pada tindakan fisik seperti memukul, menendang, atau membunuh tetapi juga bisa berbentuk verbal. Deax dan Wrightman (1984) mengemukakan, secara umum tingkah laku agresif diartikan sebagai bentuk tingkah laku yang bertujuan untuk menyakiti atau melukai makhluk lainnya. Tingkah laku ini dapat dilakukan setiap individu dan ditampilkan dalam berbagai bentuk tingkah laku konkrit. Seperti berwujud tindakan kekerasan fisik yaitu berkelahi, memukul, menendang, atau membunuh, tetapi dapat pula ditampilkan secara verbal seperti membentak, memaki atau menyindir orang lain.
Moore dan fine (koeswara, 1988) juga mengemukakan agresi sebagai tindak kekerasan secara fisik maupun verbal terhadap individu lain seperti membentak, memaki, atau mengumpat. Selain agresi fisik dan verbal, masih ada lagi bentuk agresi lainnya seperti agresi benci, dan agresi marah.
Kagan (de Witt, 1974) mengungkapkan agresi sebagai tingkah laku yang itensinya disadari atau tidak untuk menyerang atau menyakiti orang lain baik secara fisik maupun psikis. Ia menyebutnya dengan istilah Motivational Intention Hostility. Istilah benci untuk mengacu pada tindakan agresif juga dikemukakan Berkowitz (1969) dengan membedakan agresi sebagai tingkah laku dan agresi sebagai emosi yang bisa mengarah pada tindakan agresif. Ada dua macam agresi: Instrumental Aggression yaitu agresi yang dilakukan oleh organisme atau individu sebagai alat atau cara untuk mencapai tujuan tertentu. Sedangkan dan Hostille Aggression (agresi benci adalah agresi yang dilakukan semata-mata untuk melukai atau menyakiti korban).
Walaupun tidak memperdulikan masalah niat, Feshbach (de Wittt, 1974) menjelaskan mana tingkah laku yang dianggap agresif dan mana yang bukan. Tingkah laku, dianggap agresif jika secara sengaja ditujukan untuk menyakiti orang lain, istilahnya Hostile Aggression.


4. PENGARUH TAYANGAN TELEVISI
Dampak tayangan di televisi tidak hanya berpengaruh terhadap perilaku agresif, melainkan juga berpengaruh terhadap sikap anak. Saat dimana anak menonton televisi dengan sikap pasif, membisu, dan reseptif. Rangsangan untuk bersikap kritis, dalam arti memberikan umpan balik dan kontra pendapat terhadap tayangan-tayangan televisi hampir tidak pernah dimunculkan. Tampaknya hal tersebut dipengaruhi budaya paternalistik masyarakat kita, yang menempatkan orang tua sebagai majikan yang superior (tahu segalanya dan anak sebagai abdi yang inferior/tidak tahu apa-apa) sehingga dialog (sharing of information) sulit terjadi, meski untuk mengupas tayangan-tayangan televisi sekalipun. (Antar Venus Khadiz, 1997: 175)
Tayangan kekerasan di televisi dianggap telah mempengaruhi sikap dan perilaku anak untuk bertindak agresif.
Dalam hal ini lebih dikaitkan dengan penelitian belajar observasional Bandura yang paling terkenal adalah pembentukan agresi pada anak-anak. Bandura (Sears et.al, 1991) menggunakan sejumlah anak dari sebuah taman kanak-kanak sebagai subjek penelitian. Anak-anak dibagi empat kelompok. Setiap kelompok ditempatkan terpisah dan mendapat perlakuan berbeda. Kelompok pertama diberi film yang memperlihatkan orang dewasa sedang melakukan tindakan agresif, seperti memukul sambil membentak-bentak kearah sebuah boneka. Kelompok kedua diberi adegan perkelahian dalam film kartun. Kelompok ketiga diberi tontonan dua orang dewasa sedang berkelahi. Kelompok keempat diberi tontonan orang dewasa yang sedang menghadapi sebuah boneka dengan sikap tenang dan non agresif.
Selang beberapa lama anak-anak dibawa ke sebuah ruangan yang berisi berbagai mainan antara lain boneka. Mereka dibiarkan bermain sambil sesekali diamati oleh peneliti. Bandura menemukan, pada saat bermain anak-anak kelompok satu, dua, dan tiga menunjukkan tingkah laku yang agresif. Dari ketiga kelompok itu, anak-anak kelompok tiga ternyata paling agresif, yaitu anak-anak yang menonton perkelahian nyata. Sementara anak-anak kelompok empat menunjukkan sikap tenang dan non agresif, seperti tingkah laku yang disaksikannya.
Motivasi individu untuk mengamati atau mencontoh tingkah laku model akan kuat bila model memiliki daya tarik dan tingkah laku yang dilakukan memiliki efek menyenangkan. Penguatan memotivasi individu untuk mencontoh tingkah laku model oleh Bandura disebut Vicarious Reinforcement.
Dari temuan itu, Bandura menyimpulkan agresi bisa dipelajari dan terbentuk pada individu lainnya dengan meniru atau mencontoh agresi yang dilakukan model.
Untuk itu penulis menggunakan teori yang dipakai para peneliti yang dianggap cukup tepat dan memadai yaitu teori belajar observasional atau modeling yang mengungkap banyak aspek. Adapun modeling yang dikemukakan Bandura (1972) mempunyai asumsi, sebagian tingkah laku individu diperoleh dari hasil belajar melalui pengamatan atau tingkah laku yang ditampilkan individu lain yang menjadi model. Ada empat tahap dalam proses imitasi di mana satu dengan yang lainnya saling berkaitan. Diawali dengan tahap Atensional, yaitu proses pertama di mana individu tertarik memperhatikan atau mengamati tingkah laku model. Proses ini dipengaruhi oleh frekuensi kehadiran model dan karakteristik yang dimilikinya. Jadi, model yang sering tampil dan memiliki karakteristik menarik bagi pengamat atau mempunyai pengaruh terhadap pengamat akan mengundang perhatian dibanding model yang jarang tampil dan tidak menarik atau tidak mempunyai pengaruh bagi pengamat.
Kedua, proses Retensi di mana pengamat menyimpan tingkah laku model yang telah diamati di dalam ingatannya melalui kode verbal atau imajinal. Ketiga, proses reproduksi yaitu proses di mana individu pengamat mencoba mengungkap ulang tingkah laku model yang telah diamatinya. Pengungkapan tingkah laku model pada awalnya bersifat kaku dan kasar, lalu dengan pengulangan yang itensif, lambat laun individu bisa mengungkapkan tingkah laku model dengan sempurna atau setidaknya mendekati tingkah laku model. Terakhir, proses motivasional dan penguatan. Tingkah laku model yang telah diamati tidak akan diungkapkan oleh pengamat jika kurang termotivasi. Dalam hal ini, penguatan positif dapat memotivasi ke arah pengungkapan tingkah laku yang telah diamati. Penguatan juga mempengaruhi proses atensional. Artinya individu lebih tertarik untuk mengamati dan mencontoh tingkah laku yang menghasilkan penguatan lebih besar daripada tingkah laku yang menghasilkan penguatan kecil.

PEMBAHASAN
Studi yang dilakukan oleh Robert Coles, pakar psikiatri dari Universitas Harvard dan penulis buku The Moral Life of Children, menemukan bahwa situasi keluarga juga bisa menjadi variabel moderator hubungan antara tayangan tindak kekerasan ditelevisi dengan perilaku tertentu pada anak-anak. Menurutnya, anak-anak dari keluarga yang kualitas kehidupannya rendah sangat rawan dan peka oleh pengaruh yang ditimbulkan siaran buruk televisi, yang dinyatakan dalam tindakan yang menyimpang. (What Makes Some Kids More Vulnerable to the Worst of TV, TV Guide, Juni 1986, Deddy Mulyana dan Idi Subandy Ibrahim, 1997). Agak berbeda, Grant Noble (Children of the Small Screen, 1975) menemukan bahwa justru jenis kekerasan dan penghayatan pemirsa terhadap apa yang ditontonnya memberikan pengaruh terhadap timbulnya perilaku agresif. Namun perilaku itu kecil sekali, yaitu sekitar 10 persen sedangkan 90 persen lainnya tidak dapat dideteksi.
Kenyataannya dampak tayangan televisi, tidak hanya berpengaruh terhadap perilaku anak-anak tetapi juga terhadap sikap anak. Hal ini dikemukakan oleh Zulkarimen Nasution (1997: 206), Pertama. Ingin mendapatkan atau mencapai sesuatu selekas mungkin (instantly). Dilayar televisi segala sesuatu berlangsuing cepat. Gaya televisi memang mengharuskan kecepatan itu. Segalanya serba seketika. Hitungan yang berlaku dalam penayangan adalah detik. Jadi semua tampak cepat. Kedua, kurang menghargai Proses. Sebagai lanjutan dari ingin cepat mencapai sesuatu, anak-anak menjadi kurang menghargai, bahkan di sana-sini ingin mengabaikan, kalau bisa bahwa segala sesuatu ada jalannya. Ada awal, ada proses, baru kemudian ada hasil. Akibat kurang menghargai proses ini, timbul kecenderungan ingin mendapatkan sesuatu lewat jalan pintas. Ketiga, Kurang dapat membedakan khalayan dengan kenyataan. Dengan kemampuan berpikir yang masih amat sederhana, dapat dimaklumi jika anak-anak cenderung menganggap apa saja yang tampil di layar televisi adalah suatu hal yang nyata.
Dampak tayangan televisi yang pertama dan kedua dasarnya sama terhadap sikap anak. Dimana anak-anak memperoleh informasi tentang bagaimana berpakaian, berperilaku, bermain dari menonton seperti tayangan film spiderman, batman, superman yang berpakaian lengkap dan bisa terbang, dan film teletubbis yang senang belajar dan bermain. Pada dasarnya anak-anak suka meniru cara berpakaian dari tokoh favoritnya ditambah lagi dengan peluang bisnis dari produsen untuk memproduksi segala sesuatunya yang berkaitan dengan segala hal dari tokoh-tokoh yang digandrungi anak-anak, misalnya mulai dari baju bersayapnya superman, topeng batman dan sebagainya. Sinchan yang suka usil tapi cerdas juga dapat digambarkan sebagai contoh yang berpengaruh terhadap sikap anak yang dapat menjadikan anak masa bodoh terhadap lingkungan sekitarnya, tidak mendengarkan kata-kata orangtua, pemalas bahkan kurang tanggungjawabnya.
Pada dasarnya anak-anak suka meniru cara berpakaian dari tokoh favoritnya ditambah lagi dengan peluang bisnis dari produsen untuk memproduksi segala sesuatunya yang berkaitan dengan segala hal dari tokoh-tokoh yang digandrungi anak-anak, misalnya mulai dari baju bersayapnya superman, topeng batman dan sebagainya.
Dampak ketiga tayangan televisi terhadap sikap anak. Untuk mencari kesenangan atau hiburan yang bersifat pasif, melepaskan diri dari kebosanan, anak-anak lalu duduk menyaksikan atau menonton acara-acara menarik yang menjadi acara favoritnya, seperti film kartun Dora The Ekplorer, Spongebob, dan Cinderella. Dari kedua film khayalan ini anak-anak memperoleh informasi bagaimana dora diikuti segulungan kertas (peta) yang bisa mengikutinya berjalan. Lalu tas/ransel Dora yang di dalamnya berisi peralatan diantaranya ada sepeda yang dikeluarkan Dora dalam tas ransel tersebut. Lalu spongebob manusia berbentuk kotak dan monyet hewan yang bisa berbicara. Kemudian film kartun Cinderella, seorang putri yang cantik dengan kereta kencananya, gaun yang indah, sepatu kaca, pangeran, dan ibu peri. Adegan-adegan sebagian dari film tersebut lebih bersifat khayalan (fantasy) yang sulit untuk dipahami anak-anak sehingga segala sesuatu yang diketahui, diperoleh, dan dialami pada masa kanak-kanak tersebut dapat mempengaruhi perkembangan diri si anak.
Tayangan-tayangan televisi diatas berpengaruh terhadap sikap anak sehingga anak berperilaku untuk berkeinginan untuk memperoleh segala sesuatu dengan cepat atau seketika seperti tokoh favoritnya. Hal ini sebagai suatu wujud keinginan anak-anak dari hasil daya khayal dan fantasi mereka terhadap tokoh-tokoh favoritnya.
Adapun terhadap Perilaku Anak, seperti Peniruan perbuatan kekerasan, sudah sejak lama hal ini menjadi keprihatinan, bahkan dapat dikatakan yang paling menonjol di kalangan para pendidik, psikolog dan pemimpin agama. Dikhawatirkan, dengan melahap secara rutin aneka bentuk kekerasan yang tampil dalam berbagai format acara televisi, terutama film, anak-anak tadi yang memang mempunyai kemungkinan besar untuk itu, akan menirunya dalam keseharian mereka. Untuk film serial Mahabrata pada adegan ‘Perang Bharata Yuda’. Disini adegan perang dapat diterima dengan baik oleh pemirsa karena adegan bunuh membunuh dalam cerita itu merupakan penggambaran perang antara yang baik dan benar.
Tetapi untuk adegan film atau sinetron yang isinya banyak menggambarkan kekerasan seperti seorang laki-laki yang berperan sebagai seorang bapak yang memaki, memukul anaknya karena si anak dianggap menyusahkan, selalu membuat masalah, dan menentang keinginan orangtuanya. Adegan seperti yang digambarkan tersebut misalnya dalam sinetron Yoyo dapat mempengaruhi perilaku anak melakukan peniruan seperti memaki, memukul, bahkan menendang baik ditujukan kepada sesama teman, saudara bahkan orangtua. Bentuk kekerasan seperti itu dapat mempengaruhi perilaku anak-anak untuk mudah secara refleks berbuat hal yang sama dari adegan sinetron yang ditonton.
Apalagi sinetron seperti Misteri dua dunia yang menggambarkan permusuhan, perkelahian dengan penggambaran yang dibuat-buat, manusia terbang, menghilang, berubah bentuk seketika menjadi hewan dan sebagainya. Hal ini dapat menghasilkan dampak makna dan emosi bagi setiap penontonnya terutama anak-anak.
Film action seperti sinema Asia yang menggambarkan perkelahian dengan baku hantam, tembak-menembak, bunuh-membunuh mempengaruhi perilaku anak untuk bersikap sama meniru untuk membalas memukul, menendang dan sebagainya.
Bagi anak-anak yang menonton film (film kartun, film action) maupun sinetron tersebut sangat berpengaruh terhadap sikap maupun perilakunya, yang menginginkan segala sesuatu diperoleh atau berhasil seketika. Artinya sikap ini menyebabkan anak-anak kurang bersemangat, tidak kompetitip/ atau tidak ada daya juang. Sehingga anak-anak malas berpikir atau tidak bersikap kritis. Bahkan lebih dari itu anak-anak yang setelah menonton film atau sinetron yang menggambarkan adegan kekerasan dapat berperilaku seperti memaki, memukul, atau menendang dalam keseharian mereka.
Jika televisi merupakan salah satu “model” yang menarik untuk ditiru anak-anak, kiranya penelitian yang dilakukan Kompas perlu mendapat perhatian. Bila dalam satu hari televisi menyajikan 127 adegan antisosial, maka berapa banyak lagi aksi-aksi serupa dalam satu minggu, satu bulan, bahkan satu tahun? Mungkinkah anak-anak akhirnya akan merasa tidak apa-apa bila memukul dan menganiaya orang lain? Padahal Nitibaskara, Kriminolog UI menemukan televisi mampu mempengaruhi 75 % perilaku penontonnya (Psyyce, Mei, 1994).
Mengenai hal itu, Alwi Dahlan berkomentar, pengaruh tayangan televisi terhadap pemirsa tidaklah berlangsung sesaat, tetapi terakumulasi dari episode keepisode dan dari hari ke hari. Orang dewasa memang tidak langsung menembak orang begitu selesai menonton acara yang menapilkan adegan tembak-menembak, tapi acara ini memberikan kecenderungan seseorang untuk melakukan kekerasan. Orang yang sakit hati dan punya beban hidup berat misalnya, tayangan kekerasan bias menjadi pemicu bagi orang dewasa. Namun bagi anak-anak, karena pikirannya tidak panjang, bisa saja langsung meniru apa-apa yang dilihatnya dari televisi (Republika, Mei 1995).
Besarnya pengaruh televisi terhadap perilaku penonton dan besarnya kemungkinan potensi film-film yang ditayangkan televisi sebagai “model” yang menarik untuk ditiru, memberikan indikasi kepada kita agar berhati-hati dan bijaksana dalam menentukan jenis-jenis tayangan yang sesuai dengan konsumsi anak-anak seusianya.





KESIMPULAN
Dampak tayangan televisi dapat berpengaruh terhadap sikap dan perilaku anak yang . berkeinginan untuk memperoleh segala sesuatu dengan cepat atau seketika yang diperlihatkan oleh tokoh favoritnya, contohnya ingin bisa terbang seperti Superman lalu minta dibelikan pakaian yang sama seperti Superman. Hal ini sebagai suatu wujud keinginan anak-anak dari hasil daya khayal dan fantasi mereka terhadap tokoh-tokoh favoritnya. Sedangkan tayangan yang menggambarkan kekerasan seperti film action, sinetron, dan lain-lain mempengaruhi perilaku anak untuk bersikap agresif, meniru seperti memaki, memukul, menendang dan sebagainya.
Anak tidak akan melakukan imitasi secara sembarang. Mereka lebih sering meniru orang tertentu dibanding meniru orang lain. Semakin penting, berkuasa, berhasil, dan mirip seseorang, semakin besar kemungkinan seseorang anak menirunya. Demikian juga orang yang paling sering ditemui akan merupakan orang paling banyak ditiru
Televisi sebagai salah satu model yang menarik untuk ditiru. Kiranya dampak penayangan film-film kekerasan di televisi sudah saatnya diwaspadai sebagai salah satu penyebab tindak agresi di masyarakat. Walaupun pengaruh televisi tidak langsung, namun pengakumulasian stimulus dapat menjadi bom waktu yang setiap saat dapat meledak. Adalah bijaksana jika kita mengantisipasinya sejak awal.
Selain televisi, orang tua juga merupakan salah satu model yang menarik untuk ditiru, maka sebaiknya orang tua tidak memperlihatkan tindakan-tindakan agresif di hadapan anak, misalnya memaki, mendorong, memukul, bahkan bertengkar dengan orang lain. Jika tindakan semacam ini sudah kebiasaan orang tua, maka kelak anak akan melakukan tindakan agrsif sebagai hal yang sudah biasa dan dibawa dalam kehidupan sosialnya dengan orang lain.
Orangtua memenuhi kriteria tersebut dan merupakan model utama bagi seorang anak pada masa awal kehidupannya. Orangtua merupakan sumber penguatan dan obyek imitatif utama. Perilaku anak di masa datang sangat tergantung pada cara orang tua memperlakukan anak dan pada perilaku orang tua sendiri.
Kalaupun di beberapa stasiun televisi ada tayangan anak diproduksi dari luar, diantaranya spongebob, Dora Eksplorel, dan lain-lain yang tentu budayanya berbeda dengan kita. Kondisi itu menyebabkan anak-anak sekarang memang kehilangan tokoh lokal yang bisa dijadikan panutan. Anak-anak perlu tayangan yang baik dan layak untuk ditonton, seperti sinetron Kiamat Sudah Dekat serta yang membumi yaitu sinetron anak, Lorong Waktu yang disampaikan dengan pesan yang sehat, manusiawi, patut dan memenuhi selera zaman. Dengan sinetron yang akrab dengan kehidupan masyarakat kebanyakan, diharapkan anak-anak akan mendapatkan arahan yang baik untuk menghadapi masa depannya.
Kiranya penayangan film-film yang mengadung unsur kekerasan lebih memperhatikan jam tayang dan disesuaikan dengan konsumsi usia anak. Orang tua juga sebaiknya mendampingi anak saat menonton televisi. Dengan begitu orang tua dapat langsung memberikan penjelasan yang bijaksana saat muncul pertanyaan dari anak. Mengenai jam tayang, sebaiknya dibentuk forum pemirsa yang dapat memberikan masukan kepada pihak televisi mengenai alokasi waktu yang sesuai untuk anak-anak.
























DAFTAR PUSTAKA

Brown, Ray, Children and Television, Sage Publication, Inc. Beverly Hills, California, 1976.
Bandura, A. Aggression: A. Social Learning, Analysis, New Jersey: Prentice-Hall, 1972
Berkowitz, L., Agresi: Sebab dan Akibatnya, terjemahan Haratni W. Susianti. Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo, 1995.
Drajat, Ria Hilmiati, Psikologi Sosial, Amrico, Bandung: 1982
Gerungan, W.A, Psikologi Sosial, PT. Eresco, Bandung: 1986
Psyche, Majalah Mahasiswa Fakultas Psikologi UI, SMF UI, ISSSN 0854-5618, Edisi Mei 1994.
Koeswara, E, Agresi Manusia, Cetakan I, Bandung: Eresco, 1988.
Mulyana, Deddy dan Ibrahim, Idi Subandy, Bercinta dengan Televisi, Remaja Rosdakarya, Bandung: 1997.
Rakhmat, Jalaluddin, Psikologi Komunikasi, Rosdakarya, Bandung: 1991.
Siregar, Ashadi, Menyikap Media Penyiaran: Membaca televise Melihat Radio, LP3Y, Yogyakarta: 2001.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran, Kementerian Komunikasi dan Informasi, Jakarta: 2002
Widyastuti, Pro dan Kontra Dampak Negatif Televisi, Jurnal Kampus Tercinta, No. 5 IISIP Jakarta: Agustus 1997.
_________, Perilaku Agresif Sebagai Proses Belajar, Jurnal Kampus Tercinta, No. 8 IISIP Jakarta: Agustus 1998.









No comments: